Kata metode Waterfall mungkin asing bagi khalayak umum, sebab istilah ini lebih familiar di telinga orang-orang yang bergelut di bidang Information Technology (IT). Istilah ini tidak mengacu pada ilmu hidrologi, melainkan berkaitan dengan pengembangan perangkat lunak atau software.
Metode Waterfall merupakan model klasik dalam pengembangan software, karena sifatnya yang natural. Metode ini dapat diartikan sebagai metode pengembangan software secara linear, berurutan dan sistematis. Nama Waterfall mencerminkan cara kerja metode ini, yakni setiap fase pengembangan software dilakukan berurutan, mulai dari atas ke bawah, seperti layaknya air terjun.
Seperti diterangkan sebelumnya, pengembangan software yang menggunakan Waterfall methodology dilakukan dengan pendekatan yang sistematis. Ini mulai dari tahap kebutuhan sistem, yang kemudian menuju ke analisis, desain, coding, testing atau verification, dan maintenance. Keseluruhan langkah ini harus dilalui satu per satu, dan berjalan secara berurutan.
Baca Juga: Seperti Apa Tren Teknologi Industri Tahun 2022 Nanti?
Waterfall methodology masih digunakan sampai saat ini, meski dalam pengembangan software sudah ada metode lain yang bisa digunakan. Alasannya karena mampu memberikan workflow yang jelas.
Dengan menggunakan metode ini, perusahaan dapat memiliki rangkaian alur kerja sistem yang jelas dan terukur. Masing-masing tim memiliki tugas dan tanggung jawab sesuai dengan keahliannya, sehingga perusahaan dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan alokasi waktu yang telah ditentukan sebelumnya.
Metode ini juga mampu menyediakan dokumentasi yang baik bagi perusahaan, karena pendekatannya yang sangat metodis. Melalui metode Waterfall, setiap informasi akan tercatat dengan baik dan terdistribusi kepada setiap anggota tim secara cepat dan akurat. Dengan adanya dokumen, maka pekerjaan akan menjadi lebih mudah karena mengikuti setiap arahan dari dokumen tersebut.
Waterfall methodology juga berfungsi sebagai alat pengontrol biaya bagi perusahaan. Hal ini dapat dicapai karena klien tidak dapat mencampuri alur pengembangan software, sehingga biaya yang dikeluarkan menjadi terkontrol atau sesuai dengan biaya yang ditetapkan. Jika klien bebas memberikan feedback kepada tim developer terkait perubahan atau penambahan fitur, maka biaya yang dikeluarkan bisa membengkak di luar dari budget yang ditetapkan di awal.
Namun, agar fungsi metode ini dapat berjalan dengan sempurna maka software yang akan dikembangkan haruslah sebuah program yang dapat dipahami oleh klien. Jika konsep software masih abstrak, maka kemungkinan besar metode ini tidak bisa diterapkan. Pasalnya, klien tidak dapat memberikan feedback sebelum software tersebut selesai sepenuhnya. Ada kemungkinan ketika proyek selesai, klien tidak puas dan tim developer harus merombaknya.
Selain itu, ada beberapa kekurangan yang harus diperhatikan terkait Waterfall methodology ini, antara lain:
Penggunaan metode Waterfall harus dilakukan oleh tim yang solid dan kompeten. Sebab, jika salah satu tim tidak dapat menjalankan tugas dengan semestinya, maka akan sangat berpengaruh terhadap alur kerja tim yang lain yang mengerjakan alur di bawahnya.
Semua tim dituntut bekerja sesuai arahan dan petunjuk yang telah ditetapkan di awal. Sehingga, klien tidak dapat mengeluarkan pendapat kepada tim developer namun hanya memberikan masukan pada tahap awal perancangan saja. Selain itu, apabila ada perkembangan terbaru di salah satu alur yang sebelumnya sudah diselesaikan, tim pengembang di alur berikutnya harus mengembalikan terlebih dahulu ke tim sebelumnya sebelum bisa meneruskan.
Proses pengerjaan menggunakan Waterfall methodology terbilang lama dibandingkan dengan model pengembangan yang lain. Sebab, pengerjaan proyek harus dilakukan satu per satu. Sebagai contoh, tim developer tidak bisa memulai coding jika designer belum menampilkan tampilan desain dari aplikasi.
Baca Juga: 6 Langkah Penting Menentukan Niche Market
Waterfall methodology memiliki lima fase dalam penerapannya, yakni antara lain:
Developer harus mengumpulkan informasi yang terkait dengan kebutuhan pengguna software. Pengumpulan informasi ini dapat diperoleh dengan berbagai macam metode, seperti diskusi, observasi, survei, atau wawancara. Informasi yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis sehingga didapatkan data atau informasi yang lengkap mengenai spesifikasi software yang akan dikembangkan yang sesuai kebutuhan pengguna.
Informasi mengenai spesifikasi kebutuhan pengguna selanjutnya dianalisis dan diimplementasikan pada desain. Perancangan desain dilakukan untuk membantu memberikan gambaran mengenai apa yang harus dikerjakan. Ini juga akan membantu developer untuk menyiapkan kebutuhan hardware dalam pembuatan arsitektur sistem software yang akan dibuat.
Tahap implementation and unit testing masuk klasifikasi tahap pemrograman. Pembuatan software dibagi menjadi modul kecil yang nantinya digabungkan dalam tahap berikutnya. Selain itu, pada fase ini juga dilakukan pengujian terkait fungsi modul yang sudah dibuat.
Modul yang telah dikembangkan dan diuji, kemudian diintegrasikan dalam sistem secara keseluruhan. Setelah itu dilakukan pemeriksaan dan pengujian sistem secara keseluruhan untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya kegagalan dan kesalahan sistem.
Dalam tahap terakhir Waterfall methodology, software yang sudah jadi akan dioperasikan pengguna diikuti maintenance dari developer. Maintenance memungkinkan developer untuk melakukan perbaikan atas kesalahan yang tidak terdeteksi pada tahap sebelumnya. Maintenance ini meliputi perbaikan kesalahan, merapikan implementasi sistem, dan meningkatkan serta menyesuaikan sistem sesuai dengan kebutuhan.
Baca Juga: Menentukan Market Size untuk Keuntungan Bisnis Lebih Tepat dan Terarah
Setidaknya ada 9 perbedaan utama antara Waterfall methodology dengan Agile Methodology dalam proyek pengembangan software. Perbedaan-perbedaan antara dua metode ini antara lain:
Dapat disimpulkan bahwa Waterfall methodology lebih tepat untuk proyek dengan persyaratan yang jelas, di mana tidak ada perubahan sama sekali di tengah pengerjaannya. Metode ini jelas tidak cocok diterapkan dalam proyek pengembangan software yang membutuhkan respons yang lincah terhadap setiap perubahan situasi atau teknologi.